BANDARLAMPUNG, DL – Rapat dengar pendapat (RDP) dengan Walhi Lampung, dan Masyarakat pulau Sabesi di ruang rapat komisi DPRD Lampung dipimpin langsung Ketua DPRD Lampung sementara Mingrum Gumay, didampingi anggota DPRD Lampung Fitoni Hasan, Sahlan Syukur, Nurul Ikhwan (dapil lamsel), Joko Santoso, Watoni Noerdin, Mardani Umar, Ade Utami Ibnu, Selasa (10/9/2019).
RDP itu membahas soal penolakan warga Pulau Sabesi terkait pengerukan pasir menggunakan kapal tongkang di dekat Gunung Anak Krakatau (GAK).
Taufik Mewakili dari masyarakat Pulau Sabesi, menceritakan kronologis, masyarakat melihat ada sebuah kapal berlabuh di sekitar GAK.
“Singkat cerita 28 Agustus itu, masyarakat melihat adanya kapal tongkang pertambangan pasir di pulau dekat dengan GAK, kemudian tepatnya 29 Agustus, ada undangan dari pemerintah desa adanya sosialisasi dari PT LIP (Lautan Indonesia Persada). Pak Stefan selaku Direkturnya, beliau disitu mengatakan bahwa mau melakukan penambangan pasir di Selat Sunda. Jaraknya menurut beliau itu 7-10 Mil, luasan lahan itu 1000 hektar,” ungkap Taufik.
Lantas, kata dia, karena tidak ada titik temu, kemudian masyarakat melihat jarak antara kapal dengan lokasi penambangan itu paling maksimal hanya 1 mil.
“Kalau dia (Stefan) mengatakan seperti itu (7-10 mil), dimana titiknya dan kami menolak penambangan pasir di selat sunda dan pulau sabesi. Karena ini bisa merusak biota laut dan lainnya. Apalagi baru-baru ini masyarakat Pulau Sabesi pernah terdampak tsunami,” ungkapnya.
“Saat Kami mendekat ke lokasi, kami melihat ada tongkang kapal, penyedot pasir, kami perkirakan itu jaraknya 1 mil, karena kami lihat disitu kapal belum ada isinya. Jadi kami hanya mengontrol saja, dan kapal itu pergi. Oleh karena itu Kami memohon kepada dewan sebagai wakil rakyat, untuk menyampaikan kepada lembaga/instansi yang berwenang untuk mencabut surat ijin penambangan tersebut,” harapnya.
Sementara itu, Direkur Walhi Provinsi Lampung, Irfan Tri Musri menilai izin PT LIP ini cacat administrasi dalam penerbitannya dan izin tersebut tidak mempunyai landasan hukum.
“Pemprov Lampung harus mengambil ketegasan. Cabut izin usaha tambang,” tegasnya.
Bahkan pihaknya juga akan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum karena itu sudah melanggar zona wilayah.
Sementara itu, Ketua DPRD Lampung sementara Mingrum Gumay, mengapresiasi soal masyarakat dan Walhi soal laporan dugaan adanya eksploitasi pertambangan pasir.
“Kita serius ini, kami sedang mengkaji juga dengan instansi terkait, soal kawasan pesisir, termasuk Krakatau, kita dalam waktu dekat putuskan bersama perbaikan-perbaikan Perda soal itu,” katanya.
Mengenai Pokja DPRD juga pihaknya akan berkomunikasi terlebih dahulu dengan fraksi yang ada di DPRD untuk menindaklanjuti laporan ini.
“Masalah Pokja nanti akan kita Koordinasikan dengan Fraksi-Fraksi. Karena alat kelengkapan dewan belum terbentuk, maka dengan Pokja ini kita bisa memanggil pihak terkait,” ujarnya.
Prinsipnya, kata Mingrum, jika itu sudah merusak lingkungan hidup dan mengancam mata pencarian penduduk setempat maka harus distop.
“Usulan pokja itu bagus, sehingga pokja ini nantinya bisa merekomendasikan kepada instansi terkait. Soal pokja itu saya tunggu semakin cepat semakin bagus,” katanya.
Joko Santoso menambahkan, bahwa Perda Provinsi Lampung Nomor 1 Tahun 2018 tanggal 15 Januari 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Lampung Tahun 2018-2038 juga tidak mengakomodasi kegiatan penambangan pasir laut di Provinsi Lampung.
“Sejak ini diberlakukan, bahwa ijin ini tidak ada, dan tidak berlaku,” katanya.
Ade Utami Ibnu menambahkan, kontrol soal GAK, bahwa perda yang sudah disahkan itu sudah sangat kuat.
“Ini yang sudah dilakukan oleh pecinta alam ini, patut kita apresiasi dengan perlengkapan (perahu nelayan) seadanya untuk mengontrol ke dekat kapal,” katanya.(dl/red)