BANDARLAMPUNG, DL – Keputusan pemerintah bersama DPR dan penyelenggara pemilu untuk tetap melanjutkan Pilkada Serentak 2020 dinilai tidak tepat. “Jumlah korban terpapar Covid-19 masih tinggi dan cenderung naik, tetapi Pilkada tetap lanjut. Ini jelas tidak tepat,” ujar Sekretaris Network for Indonesian Democratic Society (Netfid) Lampung Erzal Syahreza Aswir.
Keputusan ini justru dipertanyakan oleh Netfid Lampung. Jika pendidikan tatap muka dan ibadah haji bisa diberhentikan, kata Erzal, kenapa Pilkada tidak bisa ditunda. “Lantas, Pilkada ini untuk siapa?,” tanya Erzal.
Jika Pilkada tetap dilanjutkan ditengah pandemi, lembaga tempat ia bernaung khawatir akan banyak korban terpapar Covid-19. “Pilkada bisa ditunda, tetapi nyawa manusia tidak,” ujar Erzal.
Demisioner Ketua PC PMII Bandar Lampung ini menuturkan, penundaan Pilkada di masa pandemi juga memiliki landasan hukum yang kuat. “Ini bencana global, ada aturan kuat untuk menunda pilkada ditengah bencana,” kata dia.
Landasan hukumnya tertuang dalam Pasal 201 A Perppu 2/2020 yang mengatur Penundaan Pemungutan Suara. Pada pasal tersebut dinyatakan bahwa pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (6) ditunda karena terjadi bencana nonalam sebagaimana dimaksud Pasal 120 ayat (1) Jo. Pasal 201 ayat (3) menyatakan bahwa dalam hal pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilaksanakan.
Pemungutan suara serentak ditunda dan dapat dijadwalkan kembali segera setelah bencana nonalam sebagaimana dimaksud ayat (1) berakhir. Penjadwalan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 A, Perppu 2/2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang.
Jika Pilkada di masa bencana nonalam dalam hal ini pandemi Covid-19 tetap dilaksanakan, kata Erzal, akan melanggar HAM. Hal ini mengingat hak untuk hidup sebagai bagian dari hak yang tidak dapat dicabut (non-derogable right). “Ini dijamin dalam Pasal 28A UUD 1945 dan Pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Politik,” ujar pria kelahiran Lampung Timur ini.
Selain itu, juga melanggar jaminan hak atas kesehatan yang ditetapkan dalam Pasal 28H UUD 1945, Pasal 9 UU 39/1999 tentang HAM, Pasal 12 ayat (1) Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (diratifikasi dengan UU 11/2005) dan UU 36/2009. “Juga melanggar jaminan hak atas rasa aman Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, Pasal 29 dan Pasal 30 UU 39/1999 tentang HAM,” ujar Sekretaris Netfid Lampung. (*/fik)