BANDARLAMPUN, DL – Pemerintah dan DPR RI harus segera merevisi pasal-pasal dalam UU ITE, yang mengancam kemerdekaan Pers dalam berkarya dan masyarakat dalam UU 1945 Pasal 28 tentang kemerdekaan berpendapat.
Selain itu acap kali pasal-pasal UU ITE itu dijadikan alat untuk memenjarakan orang dengan dalih perbuatan tidak menyenangkan atau penghinaan.
“Sanksi pasal UU ITE menempatkan manusia bak malaikat, yang tidak bisa salah. Salah kata masuk penjara. Padahal manusia itu tempatnya salah. Sementara dalam UU Pers, UU KIP informasi bagian dari sain yang itu produk manusia. Harusnya ada pasal-pasal lain di dalam UU ITE yang mengatur Falsifikasi (pengguguran teori lewat fakta-fakta), karya atau tulisan yang jika salah bisa di ralat, ” kata tokoh Pers Lampung H Bambang Eka Wijaya, saat menjadi pembicara diskusi menulis kolom, now open Warta Kopi, PWI Lampung, Selasa (7/7/2020).
Menurut penulis Buras Lampungpost ini, bagi pers, UU ITE menakutkan apalagi bagi masyarakat umum. Tidak sedikit masyarakat termasuk wartawan yang masuk penjara hanya karena tulisan bahkan kalimat.
“Ahmad Dhany misalnya, hanya karena satu kata idiot harus masuk penjara dan di vonis enam bulan, bayangkan mahaknya harga dalm proses hukum, hingga penjara enam bulan,” katanya.
Padahal UU 1945 jelas menjamin kemerdekaan berpendapat termasuk kemerdekaan Pers, termasuk di dunia. Awalnya UU ITE adalah tujuan baik untuk menjamin dan melindungi konsumen dalam melakukan transaksi elektrik di tengah meluasnya penggunaan internet dalam perekonomian nasional.
“Namun, dalam pelaksanaannya, pemerintah dan aparat justru menyalahgunakan UU tersebut untuk membungkam para pihak yang mengkritik negara. Hal ini tentu saja mencederai kebebasan berekspresi warga yang kini terus merosot.” katanya.
Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan PWI Lampung Juniardi mengatakan organisasi pengawas independen untuk demokrasi dan kebebasan freedom house menyatakan status Indonesia turun dari bebas menjadi separuh bebas menjelang akhir pemerintahan SBY pada 2014.
Kondisi ini bertambah buruk pada pemerintahan saat ini, figur negarawan yang diharapkan dapat membawa perubahan baru dalam lanskap kebebasan berekspresi di Indonesia dengan latar belakang yang bebas dari militer dan politik.
“Memang di bawah pemerintahan saat ini, indikator kebebasan sipil turun dari 34 pada 2018 menjadi 32 pada 2019. Sementara indeks kebebasan berekspresi turun dari 12 dari tahun 2015 menjadi 11 pada 2019. Meningkatnya jumlah kasus yang muncul dari penyalahgunaan UU ITE menyebabkan turunnya indeks kebebasan Indonesia dari pemerintahan sebelumnya ke pemerintahan saat ini,” katanya.
Menurut Juniardi, data yang dari Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara SAFEnet dan Amnesty International menunjukkan kasus kebebasan berekspresi yang terkait UU ITE naik dari 74 kasus pada masa pemerintahan tahun 2009-2014 menjadi 233 kasus pada pemerintahan 2014-2019, atau naik lebih dari tiga kali lipat.
“Penyalahgunaan UU ITE bisa disebabkan oleh beberapa alasan. Salah satunya karena pengaturannya yang terlalu luas dan tidak terdefinisikan baik. Misalnya istilah “informasi elektronik” dalam UU ITE yang mudah sekali dipelintir. Apakah itu juga termasuk informasi yang disampaikan lewat surat elektronik dan pesan singkat lewat telepon seluler? Padahal keduanya masuk dalam ranah privat,” ujarnya.
Lalu, jelas Juniardi UU ITE juga tidak dengan jelas membedakan antara menghina dan mencemarkan nama baik. Padahal kedua hal itu sudah diatur secara jelas di KUHP. Sebelum UU ITE berlaku, pelaku pencemaran nama baik dijerat dengan menggunakan Pasal 310-321 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Keberadaan UU ITE yang rancu membuat UU ini rentan disalahgunakan. Rumusan yang longgar tersebut juga mudah disalahgunakan oleh penegak hukum dalam pembuktian. Jadi kita setuju usulkn merevisi UU ITE, dengan memasukkan pasal pasal yang menjamin kemerdekaan berpendapat, dengan katagori bukan sangsi pidana, ” katanya. (red/fik)